About Me

Tuesday, 3 April 2012

Antara 50 Hz dan 60 Hz


Frekuensi, selain tegangan dan arus, adalah besaran yang akan dikonfirmasi oleh setiap orang yang akan memakai suatu peralatan listrik. Jawabannya pun hanya antara 50 Hz dan 60 Hz, asal frekuensi peralatan tersebut sudah cocok dengan jaringan listrik yang ada maka alat tersebut akan baik-baik saja. Selama ini kita tahu dan menerima saja bahwa ada dua jenis frekuensi yang dipakai di sistem tenaga, namun, mengapa 50 Hz dan 60 Hz? Tulisan ini akan mengulas singkat tentang frekuensi-frekuensi tersebut pada sistem tenaga listrik kita.

Frekuensi

Frekuensi secara umum dapat diartikan sebagai jumlah kemunculan suatu kejadian yang berulang pada suatu jangka waktu tertentu. Frekuensi didefinisikan sebagai jumlah periode gelombang yang terjadi selama 1 detik. Mengacu pada SI, satuan frekuensi adalah Hertz yaitu jumlah siklus per detik. Nama ini diberikan sebagai penghargaan kepada Heinrich R. Hertz atas kontribusinya pada bidang gelombang elektromagnetik.

Pada sistem tenaga listrik, istilah frekuensi diasoasikan dengan frekuensi tegangan dan arus listrik. Frekuensi ini diperoleh dari kombinasi jumlah putaran dan jumlah kutub listrik pada generator di pembangkit listrik. Pada awal sejarah munculnya listrik, pemahaman terhadap frekuensi tidak seperti yang sekarang ini kita semua pahami. Pada masa itu frekuensi lebih dipahami sebagai banyaknya jumlah perubahan polaritas (alternasi) per menit, akibatnya pada masa tersebut banyak kita temui frekuensi sistem tenaga yang apabila kita ubah ke definisi frekuensi modern akan menghasilkan angka yang tidak lazim, seperti 83 Hz atau 133 Hz.

Perkembangan Frekuensi pada Sistem Tenaga Listrik

Kita kembali ke sekitar tahun 1890an dimana listrik masih baru mulai berkembang. Pada masa itu listrik masih bersifat lokal, tidak ada transmisi jarak jauh, tidak ada interkoneksi, dan beban utama adalah penerangan. Akibatnya adalah muncul bermacam-macam frekuensi listrik yang beroperasi tergantung pada perusahaan penyedia generator pada pusat pembangkit lokal.

Di Amerika Utara, Westinghouse memilih mengoperasikan generator buatannya pada 133 Hz, sementara Thompson-Houston (sebelum nanti namanya berubah menjadi General Electric) menggunakan generator yang beroperasi menghasilkan 125 Hz. Di Britania Raya, frekuensi sistem bervariasi mulai dari 83 Hz hingga 133 Hz. Frekuensi yang beroperasi di eropa daratan juga bervariasi mulai dari 30 Hz hingga 70 Hz. AEG dari Jerman menggunakan frekuensi 40 Hz untuk mentransmisikan listrik sejauh 175 km ke Frankfurt, MFO dari Swiss menggunakan frekuensi 50 Hz untuk mentransmisikan listrik ke pabriknya, sementara Ganz dari Hungaria menggunakan 42 Hz untuk melayani konsumen beban penerangannya.

Begitu banyaknya frekuensi yang muncul menawarkan kelebihan dan kekurangan masing-masing, disamping juga mengakibatkan kebingungan tersendiri. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk mendapatkan frekuensi yang paling tepat, sesuai dengan teknologi dan karakteristik sistem tenaga listrik jaman tersebut, diantaranya:

1. Frekuensi yang tinggi dengan pertimbangan transformator

Semakin tinggi frekuensi operasi maka ukuran transformator akan semakin kecil. Keuntungan menggunakan frekuensi yang lebih tinggi adalah biaya produksi transformator akan bisa menjadi lebih murah.

2. Frekuensi yang rendah dengan pertimbangan turbin-generator

Generator-generator pada masa tersebut umumnya diputar dengan menggunakan sabuk yang terhubung ke turbin, seperti pada generator Westinghouse yang menghasilkan frekuensi 133 Hz. Perkembangan selanjutnya adalah menghubungkan langsung turbin dengan generator pada 1 sumbu, namun dengan teknologi pada masa itu hanya bisa apabila putaran generator-turbin cukup rendah, artinya frekuensi listrik yang dihasilkan juga rendah.

3. Frekuensi dengan pertimbangan lampu penerangan

Beban utama yang dilayani sistem tenaga listrik pada saat itu adalah beban penerangan. Beban penerangan menuntut frekuensi sistem yang tidak rendah, karena akan mengakibatkan lampu yang berkedip-kedip. Frekuensi sistem harus tinggi supaya kedip pada lampu tidak lagi terasa oleh mata manusia.

4. Perkembangan teknologi motor listrik

Motor induksi mulai berkembang pada masa tersebut. Belum adanya teknologi pengaturan kecepatan motor mengkibatkan motor akan berputar proporsional dengan frekuensi sistem tenaga listrik yang ada. Produsen motor listrik pada umumnya adalah perusahaan yang juga membuat generator sehingga cenderung untuk memproduksi motor listrik yang sesuai dengan spesifikasi frekuensi generator yang diproduksinya sendiri, misalnya MFO dari Swiss dengan sistem 50 Hz. Apabila kita ingin menggunakan motor listrik tersebut, tentu saja kita harus menyediakan sistem tenaga yang sesuai dengan spesifikasi frekuensi motor tersebut.

Kompromi menjadi jalan tengah untuk mendapatkan frekuensi terbaik dari sekian banyak persyaratan yang saling berlawanan tersebut. Angka kompromi yang muncul pada masa itu adalah frekuensi pada kisaran 50 – 60 Hz. Angka tersebut cukup rendah untuk teknologi pembangkitan, cukup tinggi untuk mendapatkan transformator yang sesuai, dan cukup tinggi supaya kedip pada lampu penerangan tidak terasa.

Tidak cukup jelas alasan mengapa pada akhirnya sistem tenaga listrik Eropa berkembang dengan menggunakan 50 Hz, sedangkan sistem tenaga listrik di Amerika Utara berkembang dengan menggunakan 60 Hz. Kembali pada faktor produsen generator pada masa tersebut, selain itu sudah dimulainya interkoneksi antar daerah yang bertetangga. Apabila suatu daerah ingin digabungkan melalui interkoneksi, frekuensi yang dipilih harus sama dengan frekuensi yang sudah ada sebelumnya yaitu 50 Hz atau 60 Hz.

50 Hz dan 60 Hz

Peta pemakaian jenis frekuensi di dunia (www.cites.illinois.edu)

Perdebatan lebih bagus mana 50 Hz atau 60 Hz akan selalu ada, dan tidak akan pernah selesai. Para pengguna 60 Hz akan mengatakan bahwa sistem 50 Hz tidak seefisien 60 Hz pada penyaluran daya, transformator 50 Hz membutuhkan belitan yang lebih besar, generator 50 Hz berputar lebih lambat sehingga tidak seefektif generator 60 Hz. Di sisi lain, para pengguna 50 Hz akan mengatakan bahwa rugi-rugi pada transformator 60 Hz akan lebih besar karena ada rugi-rugi yang tergantung frekuensi operasi, frekuensi yang lebih tinggi akan membatasi ukuran konduktor pada transmisi tegangan tinggi. Padahal, apabila kita lihat kembali sekian banyak frekuensi yang pernah muncul pada awal-awal perkembangan listrik, baik 50 Hz atau 60 Hz relatif sama saja dibandingkan dengan frekuensi rendah 25 Hz ataupun frekuensi tinggi 133 Hz yang pernah muncul dan beroperasi.

Akibat interkoneksi yang semakin meluas serta faktor industrialisasi dan kolonialisasi juga, sekarang ini frekuensi 50 Hz digunakan oleh kebanyakan negara di dunia, sementara 60 Hz populer di negara-negara Amerika Utara. Jepang adalah kasus khusus karena menjadi negara yang memiliki dua sistem frekuensi 50 Hz dan 60 Hz sekaligus.

Jepang: Negara Dua Frekuensi

Peta pembagian frekuensi di Jepang (www.tepco.co.jp)

Jepang adalah salah satu negara yang unik di dunia dari sudut pandang frekuensi sistem tenaga yang digunakan. Jepang memiliki dua frekuensi operasi, 50 Hz dan 60 Hz, pada satu sistem interkoneksi secara sekaligus. Kejadian ini boleh dibilang merupakan “kecelakaan”, pada awal keberadaan listrik di Jepang sekitar tahun 1890an. Perkembangan listrik di Jepang timur dimulai dari Tokyo yang mengimpor generator set dari AEG Jerman dengan frekuensi 50 Hz, kota-kota lain di Jepang timur pun mengacu Tokyo dengan menggunakan frekuensi 50 Hz. Sementara itu, untuk wilayah Jepang bagian barat, dimulai dari Osaka yang mengimpor generator dari GE Amerika Serikat yang menggunakan frekuensi 60 Hz. Perkembangan selanjutnya kota-kota di Jepang bagian barat mengacu pada Osaka dengan menggunakan frekuensi 60 Hz.

Untuk menggabungkan dua frekuensi yang berbeda, Jepang harus menggunakan sistem HVDC back to back sehingga daya tetap bisa saling mengalir ke dua sistem frekuensi yang berbeda. Terdapat tiga gardu induk HVDC back to back untuk menghubungkan kedua frekuensi tersebut, yaitu di Higashi-Shimizu, Shin-Shinano, dan Sakuma. Total kapasitas ketiga gardu penghubung tersebut adalah 1GW.

Pada kondisi normal, operasi interkoneksi dengan dua frekuensi yang berbeda tidak menjadi masalah, apalagi dengan didukung oleh saluran penghubung yang berkapasitas hingga 1 GW. Tetapi, Jepang mengalami masalah akibat perbedaan frekuensi ini setelah gempa dan tsunami besar di daerah Tohoku pada Maret 2011. Setelah gempa dan tsunami, total daya listrik yang hilang di Jepang bagian timur mencapai 9.7 GW. Sementara saluran penghubung hanya mampu total 1 GW, akibatnya daya yang dihasilkan oleh pembangkit di Jepang bagian barat tidak bisa disalurkan untuk memenuhi defisit energi di daerah Jepang timur. Praktis pada kondisi darurat seperti ini, sistem interkoneksi Jepang seolah-olah terpisah menjadi dua bagian, 50 Hz dan 60 Hz.

Frekuensi di masa mendatang?

Perkembangan elektronika daya sudah sangat maju sekarang ini, sehingga sampai pada kapasitas daya tertentu, frekuensi bukan menjadi masalah lagi karena kita bisa mengubah sesuai dengan nilai yang kita inginkan. Pada aplikasi-aplikasi khusus, frekuensi yang digunakan bukan lagi frekuensi tradisional 50 Hz/60 Hz tetapi 400 Hz. Frekuensi ini kita temui pada sistem kelistrikan pesawat terbang, kapal laut, kapal selam, dsb.

Namun untuk aplikasi sistem tenaga skala besar, penulis rasa masih akan tetap menggunakan frekuensi tradisional 50 Hz atau 60 Hz. Pertama karena kemampuan daya dari peralatan elektronika daya belum bisa untuk aplikasi yang masif, kedua karena infrastruktur kelistrikan yang sudah terbentuk saat ini, akan membutuhkan modal yang sangat besar untuk mengubah dalam waktu singkat.

Sumber: http://konversi.wordpress.com/2011/12/10/antara-50-hz-dan-60-hz

1 comment:

  1. Jadi kesimpulannya ? bagaimana peralatan yang 50hz bisa dipakai pada frekwensi 60hz ? apakah bisa hanya dengan konektor 3 kaki saja ?

    ReplyDelete