Menurut sebuah penelitian dari Northumbria University di Newcastle, Inggris, perokok sosial didefinisikan sebagai orang yang merokok sekitar 20 batang rokok dalam seminggu atau 3 batang dalam sehari. Perilaku ini dapat menyebabkan kerusakan daya ingat dan menurunkan kesehatan mental sama seperti orang yang merokok 15 batang setiap hari.
Dalam penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Open Addiction ini, psikolog dari Collaboration for Drug and Alcohol Research Group di Northumbria’s School of Life Sciences memberikan serangkaian tes ingatan kepada 28 orang perokok sosial, 28 orang perokok harian, dan 28 orang non perokok.
Para peserta diminta mengingat serangkaian tindakan yang telah ditentukan pada beberapa titik dalam sebuah video. Salah satu contohnya, diingatkan mengirim SMS kepada teman ketika gambar toko muncul di video.
Kelompok perokok mendapat hasil tes yang lebih buruk daripada kelompok bukan perokok, termasuk juga kelompok perokok sosial. Temuan ini memperkuat teori para peneliti bahwa tidak ada cara yang aman untuk merokok.
"Penelitian baru ini menunjukkan bahwa risiko kesehatan dari hanya merokok ketika akhir pekan saja tidak ada bedanya dengan merokok setiap hari. Merokok jelas-jelas merusak daya ingat," kata peneliti, Tom Heffernan, PhD seperti dilansir everydayhealth.com, Kamis (8/3/2012).
Dan efek samping dari rokok bukan cuma itu saja. Penelitian menunjukkan bahwa sesekali merokok juga dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, kanker, jantung koroner dan penyakit lainnya yang berhubungan dengan merokok.
Menurut sebuah penelitian dari American Journal of Public Health, perokok sosial tidak menganggap dirinya sendiri sebagai perokok sejati, sehingga cenderung tidak berpikir bahwa mereka memiliki masalah kesehatan dan kurang termotivasi untuk menghentikan kebiasaan merokoknya.
"Perokok sosial ini mengkonsumsi nikotin karena efek psikoaktifnya, dan tidak memiliki niat untuk menghentikan kebiasaan merokok. Tapi itu bukan berarti bahwa mereka tidak membutuhkan rokok," kata Saul Shiffman, PhD, profesor psikologi di University of Pittsburgh.
Sumber: health.detik.com
0 komentar:
Post a Comment