Sampai sekarang, rokok masih menjadi masalah yang besar di Indonesia. Tak hanya di kalangan masyarakat saja, di kalangan pejabat pemerintahan pun masih ada yang meragukan bahaya rokok bagi kesehatan. Buktinya, draft RPP Pengendalian Tembakau hingga saat ini belum juga diteken oleh Presiden.
"Kami banyak mengajukan argumen kesehatan yang tak terlalu mendapat perhatian di negeri ini. Maka kami sekarang mulai menggunakan argumen ekonomi dan transaksional," kata prof dr Hasbullah Thabrany, MPH, guru besar fakultas kesehatan masyarakat UI dalam acara konferensi pers yang diselenggarakan Komnas Pengendalian Tembakau di kantor Sekretariat IDI (Ikatan Dokter Indonesia), Senin (17/9/2012).
Prof Hasbullah menjelaskan, masyarakat seringkali terjebak dengan jargon yang membolak-balikkan fakta seolah RPP Pengendalian Tembakau akan merugikan petani dan menutup banyak lapangan kerja. Padahal dengan disahkannya peraturan mengenai pengendalian tembakau, pabrik rokok tak akan tutup.
"Pada tahun 2010, kita telah membuat analisis bahwa kerugian yang kita tanggung akibat merokok secara makro adalah sebanyak Rp 245 Trilun. Dari segi jumlah, Indonesia merupakan negara dengan pria perokok aktif terbanyak di dunia. Namun untuk pria dan wanita yang perokok aktif, Rusia masih yang tertinggi," kata dr Suwarta Kosen, MPH, koordinator Puslitbang Kemenkes RI.
Di kalangan masyarakat sendiri, diperkirakan sebanyak Rp 180 triliun uang dikeluarkan untuk membeli rokok tahun ini. Ironisnya, yang kebanyakan mengkonsumsi rokok adalah orang-orang miskin. Bahkan orang-orang ini mengalokasikan uangnya untuk rokok melebihi anggaran untuk makan.
Prof Hisbullah menegaskan bahwa memang 3 orang terkaya di Indonesia adalah pengusaha rokok. Namun yang menyumbang sebagian besar kekayaannya tersebut adalah orang-orang miskin yang kecanduan rokok.
"Saya tahu persis perusahaan rokok sudah siap untuk meninggalkan industri rokok, tapi mereka memanfaatkan situasi. Petani juga bisa mengganti tanamannya dengan tanaman lain yang lebih menghasilkan dibanding tembakau. Hanya 20% petani atau sekitar 600.000 orang petani saja yang betul-betul tergantung hidupnya pada tembakau," tutur Prof Hasbullah.
Sebagai contoh sukses, Prof Hasbullah lantas menyebutkan petani di Republik Rakyat China yang telah banyak beralih dari tembakau ke bawang putih yang ternyata lebih menguntungkan.
Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Prof Hasbullah di 3 provinsi penghasil tembakau, ia menemukan bahwa rata-rata petani hanya mendapat pendapatan sekitar Rp 1,5 juta per bulan dari bertanam tembakau. Padahal kebutuhan impor Indonesia 2 kali lebih banyak ketimbang tembakau yang diekspor. Artinya, yang diuntungkan justru negara-negara yang menghasilkan tembakau namun dilarang berjualan rokok di negaranya.
Sumber: health.detik.com
0 komentar:
Post a Comment