About Me

Saturday, 9 June 2012

Masyarakat Ini Berpikir Rokok Bisa Jadi Obat


Sungguh tragis melihat pemandangan di Bandundu, sebuah kota kecil di Kongo. Di tengah gencarnya kampanye bahaya rokok di berbagai belahan dunia, anak-anak di kota ini justru bersahabat karib dengan rokok.

Anak-anak ini memiliki alasan kuat. Mereka meyakini bahwa lintingan bubuk abu, yang terdiri dari tembakau, akar liar, dan bubuk daun, dapat menjadi obat ampuh mengatasi demam dan sakit kepala.

"Yang saya isap ini enak, tapi saya lebih suka rokok rasa coklat Lubwe Avenue. Katanya bisa menajamkan penglihatan dan meringankan demam," kata Jackson, seorang siswa SD Bobenga, diberitakan harian Syfia.

Sejak kecil, Jackson sudah mengonsumsi bubuk abu pemberian orangtuanya untuk mengobati demam. Tak heran, jika kini Jackson sangat candu dengan rokok.

Flayette Ndukute, seorang siswi 14 tahun, tak ragu menceritakan ketertarikannya terhadap rokok buatan wilayah Nsele. Dia bahkan kerap mengundang teman-temannya untuk mengisap bubuk abu bersama.

Semakin ironis melihat produsen rokok di sana, yang rata-rata rumahan, memanfaatkan fenomena ini. Anak-anak dijadikan tester untuk produk rokok sebelum dijual ke pelanggan untuk memastikan mutunya.

"Ini bisnis keluarga. Semua harus bekerja penuh semangat," kata Eboma, seorang warga yang memiliki putri berusia 16 tahun yang kecanduan bubuk abu.

Dengan harga US$0,05 atau sekitar Rp500 untuk dosis kecil, bubuk tembakau menjadi dagangan laris. Seorang produsen rokok bahkan mengaku selalu kehabisan stok dagangan setiap sore menjelang.

Ahli syaraf Fabrice Divert Emoeny mengingatkan orangtua untuk berhenti meracuni anak-anak dengan tembakau. Tembakau mengandung nikotin yang dalam dosis kecil sudah dapat menyebabkan euforia ringan, perasaan melayang, dan meningkatkan tekanan darah.

"Mengisap lintingan tembakau berkali-kali dapat menyebabkan kecanduan berat. Anak-anak harus jauh-jauh dari rokok karena masih rentan," kata Emoeny.

Namun, peringatan itu agaknya sia-sia. Anak-anak yang merupakan peniru ulung tak akan merasa terancam, selama masyarakat dewasa masih menganggap itu lumrah. Anak-anak cenderung hanya mengimitasi perilaku orangtuanya.

Sumber: vivanews.com

0 komentar:

Post a Comment