Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Daerah Kota Bogor, Jawa Barat, mengembangkan pengobatan terapi jus nanas sebagai upaya dalam mengurangi jumlah penderita AIDS.
Kepada wartawan di Bogor, Jumat, Asisten Administrasi Kemasyarakatan dan Pembangunan Sekretaris Daerah Kota Bogor Edgar Suratman selaku Ketua Harian KPAD Kota Bogor menyebutkan, metode pengobatan masih dalam tahap uji coba yang mulai dilakukan sejak awal 2011.
"Terapi jus nanas ini masih dalam tahap uji coba. Sejumlah penderita HIV/AIDS kita berikan pengobatan jus nanas ini. Saat ini masih dalam tahap pengamatan," kata Edgar.
Edgar mengatakan, hasil sementara penggunaan jus nanas kepada penderita HIV/AIDS menunjukkan tanda-tanda kemajuan, dimana sejumlah penderita mengaku setelah meminum jus tersebut merasa vitalitas tubuhnya bertambah kuat.
Beberapa penderita juga mengaku, jika tidak meminum jus nanas, maka daya tahan tubuhnya akan melemah lagi. Karena kesegaran buah nanas menimbulkan rasa segar pada tubuh penderita.
"Karena metode ini masih uji coba, kita masih terus melakukan pengamatan. Namun, jika terapi ini benar-benar berhasil dan mengobati virus HIV maka akan digunakan untuk pengobatan di Kota Bogor," kata Edgar.
Sementara itu, Kepala Bidang Pencegahan, Penanggulangan dan Penyakit Lingkungan (P3PL) Dinas Kesehatan Kota Bogor dr Eddy Darma menyebutkan, berbagai upaya dalam mengurangi jumlah penderita AIDS yang dilakukan oleh KPAD Kota Bogor.
Obat ARV
Selain mengembangkan pengobatan dengan terapi jus nanas, juga dilakukan pengobatan langsung kepada para warga yang terinfeksi HIV menggunakan obat anti-retro virus (ARV) yang telah menjadi standar internasional dalam mengobati HIV dan terapi nanas.
"Selain mengunakan ARV, di dunia kedokteran juga dikenal dengan terapi Methadone (jenis narkotika) yang mempunyai efek detoksifikasi, menguras racun yang tertimbun di tubuh," katanya.
Pola ini lanjut Eddy dengan cara pemberian Methadon secara oral bisa menekan risiko penularan HIV/AIDS, hepatitis B, hepatitis C, dan penyakit lain yang bisa menular lewat jarum suntik.
Namun terapi tersebut hingga saat ini masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
"Untuk di Kota Bogor terapi Methadone masih kontroversial, banyak yang menentang hal tersebut, padahal jika digunakan dengan pantauan dokter bisa menyembuhkan HIV," ujarnya.
Jumlah penderita HIV/AIDS di Kota Bogor mulai memprihatinkan. Berdasarkan data dari KAPD setempat hingga Oktober 2011 jumlah penderita mencapai 1.332 orang penderita HIV, 697 penderita AIDS bahkan 56 orang dinyatakan meninggal karena AIDS.
Tingginya jumlah penderita HIV/AIDS menjadikan Kota Bogor berada di urutan ke tiga untuk tingkat Jawa Barat.
Penularan HIV/AIDS berasal dari kelompok resiko yang terdapat di Kota Bogor. Berdasarkan data pemetaan kelompok berisiko tinggi yang dilakukan oleh para Konselor KPAD Kota Bogor, kelompok resiko tertinggi berasal dari kalangan Lelaki suka lelaki (LSL) sebanyak 626 orang.
Menyusul di peringkat ke dua yakni pengguna jarum suntik dan narkoba (Penasun) sebesar 424 orang. Selanjutnya 366 orang berasal dari kelompok resiko WBP, 280 dari kalangan HRN, 155 berasal dari kelompok pasangan suami istri dan 100 orang berasal dari waria.
Sementara itu, berdasarkan data estimasi kelompok resiko tinggi (2009) dari pemerintah pusat untuk Kota Bogor terdapat 18.007 kelompok berisiko datang dari pelanggan WPS, disusul 12.881 pasangan pelanggan, 6.224 LSL, dan 2.185 WBP.
Kelompok berisiko Penasun juga tergolong tinggi yakni 1.785 orang, lalu 699 orang dari WPS laki-laki dan 339 orang WPS TL serta 300 waria dan pelanggan waria sebanyak 603 orang.
Menurut Eddy, besarnya jumlah kelompok berisiko di Kota Bogor akan menjadi faktor resiko penularan HIV terbesar disaat ini dan tiga tahun mendatang.
"Menurut WHO, dengan jumlah prevalensi HIV di atas 100 persen di dalam sub populasi ini berarti sudah terlambat untuk mencegah penyebaran HIV di kelompok masyarakat umum," kata Eddy.
Namun, lanjut Eddy, Pemerintah Kota Bogor terus berupaya menekan angka penyebaran HIV/AIDS di masyarakat melalui penguatan jejaring, sosialisasi, penjangkauan klinis dan pemberdayaan bagi kelompok berisiko tinggi.
Penjangkauan dan pendampingan telah dilaksanakan oleh 18 PO rutin setiap bulan menjangkau di enam kecamatan dan hasil dilaporkan tertulis sebagai bahan capaian dan rujukan VCT.
"Kita juga melakukan sosialisasi dengan melibatkan Peer councelor (PC) dan BPRMI dan Pondok Pesantren bagi remaja masjid, serta melibatkan unsur Penyuluh agama islam peduli AIDS untuk menyampaikan tentang bahasa HIV/AIDS ke masyarakat luas," kata Eddy.
0 komentar:
Post a Comment