a. Agama Buddha dan Ajarannya
Kira-kira 2520 tahun yang lalu di kota Kapilawastu, daerah Madyadesa India Utara (kini republik Nepal) Sidharta Gautama lahir. Nama Sidharta mempunyai arti “Yang terkabul cita-citanya.” Ayahnya adalah seorang raja dari dinasti Sakya, namanya Suddhodana dengan permaisurinya yang bernama Mahamaya. Kelahiran Sidharta diceritakan bukan dengan cara biasa, menurut kepercayaan agama Budha Mahamaya bermimpi ada seekor gajah putih bertaring 4 dan sebuah bintang bersudut 6 yang bersinar terang jatuh dari langit turun kedalam perutnya. Sayangnya tidak lama setelah kelahiran Sidharta, ibunya meninggal pada hari ke-7.
Sejak berumur 7 tahun Sidharta suka bertapa salah satunya Jhana pertama. Hal itu membuat ayahnya khawatir dan memanggil para Brahmana. Para Brahmana mengatakan bahwa pangeran Sidharta akan meninggalkan kedudukannya sebagai putera mahkota dan menjadi seorang Budha. Tanda-tanda ketika waktu itu tiba: pertama, dia melihat orang yang telah lanjut usia; kedua, dia akan melihat orang sakit; ketiga, dia akan melihat orang yang meninggal. Singkat cerita ramalan itu terbukti benar. Sidharta kemudian mencari jawaban atas kehidupan manusia.
Pada usia ke 35 tahun Sidharta mencapai penerangan sempurna di bawah Pohon Bodhi, Bodh-Gaya. Kemudian setelah mencapai kesempurnaan, dia mulai mengajarkan ajarannya untuk pertama kali di Isipathana dekat Benares kepada lima orang pertapa. Ajarannya pertama kali disebut Cattur Arya Sattyani (empat kesunyataan mulia) dan Hasta Arya Marga (delapan jalan utama). Empat kesunyataan mulia diungkapkan sebagai berikut:
1. Semua bentuk kehidupan adalah penderitaan (Dukkha).
2. Penderitaan disebabkan oleh nafsu atau keinginan yang rendah (Tanha).
3. Dengan lenyapnya Tanha lenyap pula Dukkha dan itulah Nirwana.
4. Cara atau jalan untuk melenyapkan Dukkha adalah delapan jalan utama.
Delapan jalan utama itu, adalah:
1. Pengertian yang benar.
2. Pikiran yang benar.
3. Ucapan yang benar.
4. Perbuatan yang benar.
5. Mata pencaharian yang benar.
6. Daya upaya yang benar.
7. Perhatian yang benar.
8. Konsentrasi yang benar.
Menurut kepercayaan pengikut agama Buddha peristiwa ini dikenal sebagai hari suci Asadha. Di kemudian hari Sidharta memaparkan ajarannya sebagai Mahjima Pattipada atau jalan tengah. Jalan tengah mempunyai pengertian menghindari dua hal yang ekstrem yaitu: hidup dengan berfoya-foya dan bersenang-senang, memuaskan nafsu inderanya secara berlebihan, dan bersifat rendah Manfaat jalan tengah tersebut menurut pengikut Buddha: memberikan kedamaian, pengetahuan, penerangan, melenyapkan kebodohan, nafsu jahat dan serakah yang merupakan sumber dari penderitaan.
b. Agama Tao dan Ajarannya
Pendiri agama Dao adalah Lao Tze. Sedangkan kitab sucinya Tao-Tse-Djing. Hingga kini tidak ada kesepakatan tentang sejarah kehidupan tokoh Lao-Tze. Salah satu acuan dalam riwayat hidup Lao Tze sendiri didapatkan dari tulisan sejarah Sma Tjhien (Sima Yin) pada abad pertama sebelum masehi. Menurut sejarah yang disusun Sima Yin, Lao-Tse adalah orang dari desa Tjhii-ren, kecamatan Lai, kabupaten Khu, Negara Tjhuu. Nama pribadinya adalah Er, alias Tan dan nama keluarganya adalah Li. Ia menjabat pengurus arsip kerajaan Tjou. Ada dua bagian dalam kitab Tao-Tse-Djing, yaitu Shang-sia-phien (Baca. Bagian pertama dan kedua). Ajarannya disebut Tao. Istilah Tao lazimnya berarti suatu jalan atau suatu cara bertindak. Tao merupakan bahan dasar yang menyusun segala sesuatu. Tao bersifat sederhana tanpa bentuk tanpa upaya berpuas diri sepenuhnya. Tao sudah ada sebelum adanya langit dan bumi. Dalam proses sejarah waktu manusia makin jauh dari keadaannya yang sempurna. Kitab Lao Tse yang dikenal sebagai kitab Tao-Tse-Djing juga mengajarkan Te. Istilah Te tidak dapat diidentikan dengan ‘kebajikan’ seperti yang digunakan oleh para penganut agama KongHuCu. Karena Lao Tze sendiri mengacu istilah Te untuk mengacu kepada sifat-sifat atau kebajikan yang alami, naluriah, asli, yang dilawankan dengan sifat-sifat atau kebajikan yang diberikan pekokoh sosial atau pendidikan.
Asas dasar Taoisme: “Bahwa seharusnya manusia menyelaraskan diri dan tidak menentang hukum-hukum hakiki alam semesta.” Segenap lembaga buatan atau segenap upaya adalah hal-hal yang salah. Bahwasanya segenap upaya adalah salah tidaklah berarti bahwa segenap kegiatan adalah salah, melainkan bahwa memaksakan diri mengusahakan sesuatu yang berada diluar jangkauan merupakan suatu kekeliruan. Mereka yang memahami akan nasib tidak akan mengupayakan sesuatu yang berada diluar jangkauan pengetahuan. Maka yang hakiki ialah pandangan kedepan, pertimbangan serta pertimbangan secara bijak, mengenai mana yang dapat dikerjakan serta cocok, dan mana yang baik. Selain kitab Tao-Tse-Tsing ada tulisan lain oleh tentang Taoisme. Kitab itu disebut Chuang Tsu yang ditulis oleh Chuang Tsu. Kitab itu mengajarkan bahwa hidup ini nisbi. Nisbi ini berlaku dalam masalah kesusilaan. Kitab Chuang Tsu mengatakan:
Gerak langit dan bumi berjalan menurut tatanan yang mengagumkan, namun tidak pernah memperkatakannya. Keempat macam musim melihat adanya hukum-hukum yang jelas, namun tidak membicarakannya. Segenap alam diatur oleh asas-asas yang cermat, namun dia tidak pernah menerangkannya. Manusia bijaksana menembus rahasia tatanan langit dan bumi, dan memahami sepenuhnya asas-asas alam. Demikianlah manusia sempurna tidak berbuat apapun, dan manusia besar yang bijaksana tidak menimbulkan apapun. Artinya, mereka sekedar merenungi alam semesta.
Maka, hal yang menjadi prinsip dasariah adalah Wu Wei (Jangan Berbuat Apapun). Hal ini merupakan perintah termashyur bagi penganut Taoisme. Hal ini tidak berarti manusia bersikap pasif. Namun diharapkan manusia tidak berbuat yang tidak alami atau yang tidak serta merta. Yang pokok adalah tidak memaksakan diri melakukan apapun yang diluar kemampuan. Contoh:
Pemanah. Jika kita melakukan lomba memanah dengan memaksakan diri untuk mendapatkan hadiah sekeping emas dan tidak menghasilkan apa-apa. Namun lebih baik bersikap santai dan mahir jika ketepatan tembaknya tidak menghasilkan apapun.
Taoisme menggarisbawahi unsur yang bersifat tidak sadar, intuituf, serta merta. Taoisme mengajarkan bahwa hidup ini sudah diatur dan tidak perlu mengkhawatirkan apa yang harus kita kerjakan. Prinsip Wu Wei dilambangkan dengan Yin Yang. Yin Yang adalah simbol bagi penganut ajaran Tao.
c. Agama KongHuCu dan Ajarannya
Agama KongHucu memiliki istilah asli yaitu Ru Jiao yang berarti agama daripada kaum yang taat, yang lembut hati, yang beroleh bimbingan atau terpelajar. Istilah KongHuCu dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Inggris Confucianism, alasan sarjana Barat tidak menggunakan istilah Ru Jiao adalah karena peran Nabi Kongzi di dalam kitab Ru Jiao. Hal ini mungkin terasa janggal karena lewat sejarah diketahui bahwa kitab Ru Jiao sudah ada jauh sebelum Kongzi (Konfusius) lahir.
Kitab suci agama KongHuCu merupakan kanonisasi dari kitab-kitab dan dokumen-dokumen sejarah yang ada sebelumnya. Yang paling tua ditulis oleh Raja Tang Yao (2357-2255 S.M.), Yu Shun (2255-2205 S.M.), Mengzi/Mencius (371-289 S.M.). Maka Kongzi pernah mengatakan:
Aku hanya meneruskan, tidak menciptakan. Aku sangat menaruh percaya dan suka kepada ajaran dan kitab-kitab kuno itu. Di dalam diam melakukan renungan, belajar tidak merasa jenuh, dan mengajar orang lain tidak merasa capai.
Ru Jiao disempurnakan dan digenapkan oleh Tian, Agama yang dibawakan oleh nabi Kongzi yang telah diutus dan dipilihnya, sebagai Mu Duo atau genta rohaninya mengembalikan dunia kepada jalan suci/ sabda suci dan ditutup oleh ajaran Mengzi yang mengerakkan dan meluruskan jalan penafsiran dan pelaksanaan ajaran KongHuCu. Menurut Tjhie Tjay Ing, proses ajaran Mu Duo, sebagai berikut:
Jalan Suci (Dao) yang dibawakan Ru Jiao atau agama Khonghucu yang tertulis di ayat terakhir kitab suci Si Shu atau Mengzi VII B: 38 “dari yao dan shun sampai cheng tang Sing Thong yang kurang lebih selisih waktunya 500 tahun; orang-orang seperti Yu dan GaoYao/Koo Yao masih dapat langsung dapat mengenalnya (dari sumbernya langsung), tetapi Cheng Tang mengenalnya hanya karena mendengar lisan. Dari Cheng Tang sampai raja Wen/Bun lebih kurang 500 tahun jarak waktunya; orang-orang seperti Yi Yin/I Ien dan Laizhu/Laycu masih dapat mengenalnya tetapi raja suci Wen hanya bisa mendengarnya, dari raja wen sampai nabi Kongzi juga selisih jaraknya 500 tahun; orang-orang seperti Taigong Wang/Thaikong dan Sanyisheng/ San Gi Shing masih dapat langsung mengenalnya, tetapi nabi Kongzhi mengenal hanya dengan mendengar. Dari saat nabi Kongzhi hidup, walaupun baru 100 tahun tidak ada yang meneruskannya (Ajaran Jalan Suci). Tetapi Han Yu/Han Ji pada 768-824 masehi meneruskannya dan ia dijuluki bapak kebangkitan Neo-Konfucianisme yang hidup pada jaman dinasti Tang/Tong (618-905 masehi), dalam salah satu karya tulisnya menegaskan: “Adapun jalan suci itu ialah yang diteruskan Yao kepada Shun; Shun pada Yu; Yu kepada Cheng Tang; Cheng Tang kepada raja suci Wen, raja Wu dan nabi Zhougong dan Ciukong Tan; raja Wen, raja wu, dan nabi Zhougong dan kepada Nabi Kongzi dan nabi Kongzi kepada Mengzi.
Konfusius memiliki golden rule, dalam mendefiniskan keadaan timbal balik: “Tidak mengerjakan hal-hal kepada orang lain, yang kita sendiri tidak menginginkan mereka mengerjakan hal-hal tersebut kepada kita. Konfusius sangat menekankan pendidikan kepada orang-orang banyak. Selain Chun Tzu (orang baik-baik), masyarakat kelas bawah juga dapat dididik untuk memperoleh pengetahuan. Konfusius berpendapat: “Tidak seorangpun dapat dipandang sebagai seorang Chun Tzu atas dasar keturunan; ini semata-mata merupakan masalah prilaku dan watak.” Inilah yang menjadi landasan bahwa Konfusius sangat menekankan pendidikan dengan dasar Li atau kepantasan-kepantasan dalam bersikap dan bertindak
II. Hadirnya Agama Tridharma di Yogyakarta
Tridharma adalah tempat ibadah dari 3 agama yang menjadi satu, sedangkan agamanya sebenarnya tidak bergabung. Sebenarnya awalnya ada dua tempat ibadah agama Tridharma, yaitu Klenteng “Kwan Tee Kiong” di jalan Poncowinatan dan Klenteng “Hok Ling Bo” di jalan Gondomanan. Namun yang tetap mempertahankan status ke-”Tridharmaannya” adalah klenteng Kwan Tee Kiong. Sejarahnya adalah sebagai berikut:
Klenteng Kwan Tee Kiong atau Cing Ling Kiong yang terletak di Jl Poncowinatan 16, kota Jogja didirikan pada tanggal 1 Desember 1906. Pendiri dari Klenteng ini ialah : NV. Kian Gwan Tjan, NV. Kiem Bo Tjan, Hiap Soen Tjan dan Kong Seng Tjan. Kini pengurus Klentheng dilakukan oleh yayasan “Bhakti Loka.” Klenteng ini memiliki luas bangunan 3500m2, dengan ruang utama 1000m2, ruang halaman depan 1000m2, ruang samping 1000m2, ruang belakang 500m2. Kedudukan altar meja sembahyang dengan masing-masing patung pujaan adalah: ruang tengah - Kwan Tee Kong (tengah), Tay Pek Kong (kanan), Thian Siang Sing Bo (kiri). Di ruang lain: Kwan Ing Tay Soe (tengah), Giok Hong Tay Tie (ruang atas), dan Kong Hu Tju (kanan). Diberanda paling depan seperti lazimnya adalah tempat untuk sembahyang kepada Thian. Klenteng Kwan Tee Kiong ini pujaan utamanya (tuan rumah) adalah Guan Yu (tanggal 24 bulan 6 Imlek).
III. Purna-penelitian Agama Tri-Dharma
Berdasarkan hasil wawancara, agama Tridharma konteks klenteng “Kwan Tee Kiong” dan tempat ibadahnya bukanlah merupakan bentuk sinkritisme. Tetapi lebih kepada penyatuan kultur hanya orang-orang Tionghoa. Supaya mengingat tradisi dan leluhur. Di tempat ibadah agama Tridharma, mereka tetap memelihara tiga altar yang berbeda. Hal ini tidak sama dengan menyatukan ajaran, namun hanya menyatukan tempat peribadatan. Penekanan tempat ibadat bersama menjadi ciri agama Tri-Dharma merupakan salah satu unsur yang tetap berusaha dipertahankan di tengah-tengah jaman. Hal tersebut memberikan pemahaman bahwa orang-orang Tionghoa mengusahakan toleransi umat beragama dengan cara mereka yang khusus.
Sumber: http://agama.kompasiana.com/2010/12/20/agama-tridharma-buddha-tao-dan-konghucu-sebuah-latar-belakang
0 komentar:
Post a Comment